'I Like You'

 
 
 “Marsya, tau nggak loe. Di kampus kita ada mahasiswa baru. Mana sekelas lagi sama kita. Ya ampun, Keren gila bo’. Wajahnya itu lho, suwer deh nggak bakal malu – maluin buat di bawa kondangan” cerocos Angela antusias.
“Oh ya?” tanya Marsya terlihat sama sekali tidak tertarik. Komentar barusan juga hanya sekedar formalitas, membuat Angela memberengut sebel.
“Ih, gue serius juga” kata Anjela ngambek.
“Iya deh. Kalau dia memang sekeren itu terus kerenan  mana sama si galang?” tanya Marsya kemudian. Sengaja memberikan perbandingan sang pacar sahabatnya dengan harapan mulut gadis itu bisa segera tertutup.

Posted by
Unknown

More

Jatuh

SUMBER

Cerpen remaja


cerpen remaja jatuhDengan santai Revan terus menuju sekolahnya sambil mendengarkan lagu dari earpotnya. Keasikanya terusik ketika tubuhnya dengan sempurna mendarat ditanah akibat ditabrak... cewek..???
"Eh.. sory...sory.. gue nggak sengaja" Kata cewek tersebut, sambil menunduk meminta maaf, eh salah ternyata dia menunduk untuk mengambil bukunya yang jatuh (-,-)
"Loe nggak papa kan...?" Katanya bisa bangun sendiri, sory ya, gue telat, da" sambungnya sambil berlalu pergi meninggalkan Revan yang masih terdampar dengan tampang cengo. Dengan mayun dia berdiri sambil menepuk debu-debu yang menempel dibajunya. Umpatnya lirih terlontar dari mulutnya, namun begitu berbalik tayang ulang terjadi karena lagi-lagi pantatnya harus kembali mencium aspal.
"Waduh nabrak lagi, sory beneran, beneran gue tadi terlambat soalnya ini hari pertama gue masuk sekolah, gue lari nggak liat elo, nabrak deh. Kalo yang barusan ada batu ditengah jalan berhubung mata dikepala nyandung deh, makanya bisa nabrak elo, lagian gue emang punya ma..."
"Diam loe..!" Bentak Revan yang membuat cewek itu, mangap tampa suara kayak di Puaus gitu. Setelah mampu berdiri ia segera berlalu pergi, rencananya sih emang mau marah tapi tadi matanya nggak sengaja melirik jam ditangannya, sepuluh menit lagi masuk kelas, sia-sia marah cuma lima menit mubazir waktu namanya.
Namun baru sepuluh langkah sebuah teriakan menghentikannya yang membuat punggungnya kembali tertabrak , syukurlah paling tidak kali ini ia tidak sampai terjatuh.
"Loe mau apa sih sebenarnya..?" Geram Revan sambil berbalik.
"Eh.. gue." cewek itu tertunduk sambil mengaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, "Mau nanya kalau SMA 1 jalanya kemana ya...? belok kiri apa kanan...? soalnya gue baru disini jadi gue nggak tau..?" Sambungnya polos.

Posted by
Unknown

More

10 Kebiasaan Buruk Yang Dapat Merusak Otak

 SUMBER


1. Tidak Sarapan Pagi
Mereka yang tidak mengkonsumsi sarapan pagi memiliki kadar gula darah yang rendah, yang akibatnya suplai nutrisi ke otak menjadi kurang.
2. Makan Terlalu Banyak
Terlalu banyak makan, apalagi yang kadar lemaknya tinggi, dapat berakibat mengerasnya pembuluh darah otak karena penimbunan lemak pada dinding dalam pembuluh darah. Akibatnya kemampuan kerja otak akan menurun.
3. Merokok
Zat dalam rokok yang terhisap akan mengakibatkan penyusutan otak secara cepat, serta dapat mengakibatkan penyakit Alzheimer.

Posted by
Unknown

More

Lagi Falling in Love

SUMBER


Aku masih tidak mengerti apa sebab mukanya itu selalu muncul dalam pikiranku. Menyusup perlahan-lahan memenuhi ruang di batinku. Setiap hari. Terbayang yang indah-indah. Setengah mati aku coba buang, tapi herannya muka itu selalu datang lagi datang lagi setelah sekian banyak diusir. Padahal muka itu tidak cantik, tidak indah, mukanya biasa. Hidungnya tidak mancung. Bibirnya tidak sensual. Pipinya tembem. Mukanya bulat. Pokoknya sangat biasalah. Semisal diukur dalam kategori cantik, jelas muka itu tidak termasuk.

Lagipula orangnya pendek, tidak tinggi seperti aku. Suka bicara kasar dan kalau tertawa suka terbahak-bahak, memenuhi ruang kepala dari ubun-ubun. Membuat bising hingga pusing. Tapi kenapa mukanya selalu muncul? Itu yang kupertanyakan. Apa aku tertarik padanya? Jika iya, kenapa aku bisa tertarik? Semisal tidak, kenapa mukanya selalu ada di dalam kepalaku? Kenapa hayo?


Ilustrasi Sa dalam cerpen cinta berjudul Lagi Falling in Love

Aku menjambak-jambak rambut di kepalaku. Bingung. Selain juga berupaya menyingkirkan mukanya itu dari benakku. Siapa tahu dengan begitu mukanya itu bisa keluar dari dalam kepalaku dan tergantikan dengan mukanya Jessica Simpson yang aduhai. Namun tetap saja tak bisa, semakin berusaha kubuang muka orang itu semakin teringang selalu. Tidak sewaktu diam. Tidak sewaktu bergerak. Tidak sewaktu tidur. Makan, minum, bernafas, ke sekolah. Mukanya selalu hadir dengan sosoknya, bermain-main di pikiran. Seolah dia hantu yang diutus iblis untuk mengganggu hidupku. Ah, apa coba sebabnya?

***

“Itu tanda-tanda orang jatuh cinta,” Ambon, teman sekelasku, bilang begitu. Kala bel sekolah belum berdentang kencang-kencang menyuruh para siswa masuk ke ruang pengajaran. Saat itu aku bercerita kepadanya perihal bayang-bayang muka yang selalu memenuhi ruang kepalaku setiap hari itu.

“Kok bisa?” Tanyaku.

“Itu jelas,” tambah Ambon lagi, “kelihatan banget tuh. Kamu memikirkannya setiap hari. Terbayang-bayang mukanya di mana pun. Kapanpun. Walau kamu sudah menepisnya berulang kali.”

“Aku pikir itu nggak mungkin,” kilahku, “hatiku nggak bilang begitu kok. Tahulah diriku, apabila jatuh cinta pada seseorang.”

Tapi Ambon mengacuhkan jawabanku dan malah menambahi pertanyaannya, “memangnya sudah berapa lama mukanya membayang-bayangi pikiranmu?”

Aku mencoba mengingat-ingat. Menerawangkan mataku ke atas langit-langit. “Kupikir... semenjak aku mengenalnya. Tapi sumpah, mukanya baru masuk dalam pikiranku sekitar seminggu yang lalu.”

Ambon lalu mendekati wajahku dan mengerlingkan matanya dengan nakal. “Aha, that it’s! Your’s falling in love,” ungkapnya yakin.

“Hah?” Mataku melongo mendengar vonis Ambon itu, “nggak mungkin!!”

Tepat pada saat itu, bel masuk berbunyi bertalu-talu. Ibu Ima, si guru bahasa Inggris yang galak masuk, mengajar. Aku nggak bisa konsentrasi lantaran kata-katanya Ambon.

***

Beberapa hari sebelumnya, kata-kata Ambon memang terdengar sangat dashyat. Aku sempat shock lantaran kata-kata itu. Tapi, sejak saat itu aku tak lagi memikirkan kata-katanya. Toh, itu hanyalah pendapatnya saja. Bukan kenyataan rasa yang terjadi pada diriku. Lagipula aku sudah berhasil menyingkirkan muka itu. Muka milik seorang gadis bernama Sa. Lengkapnya Mahtisa Iswari.

Dia gadis kecil, pindahan dari salah satu kota di bagian barat Pulau Jawa, Bandung. Anaknya ramah, rame, gaul, funky dan menyenangkan—bisa membuat suasana menjadi lebih segar, begitu penilaian teman-teman. Tapi bagiku, tidak. Justru sebaliknya. Suaranya yang keras membuat kepalaku pusing. Cara tertawanya itu lho. Sejak awal dia pindah ke kelas ini tiga bulan lalu, aku tak menyukainya. Tapi sebagai seorang cowok yang baik dan budiman, aku tak menjudesinya. Biasa saja, selaiknya orang-orang lain. Hanya saja, aku tak ingin berakrab-akrab ria sama dia. Aku jaga jarak saja.

Tapi semua itu, berbalik 180 derajat. Ada kejadian yang membuat pembalikan itu. Kejadiannya terjadi seminggu yang lalu. Waktu itu, kelas sedang ramai. Guru pengampu mata pelajaran Biologi, sedang sakit hari ini, jadi tidak masuk. Dan seperti kebiasaan kelas, kami membiarkan saja kelas tetap kosong. Kami tak ingin pergi ke guru piket untuk mengganti guru yang lain. Ketua kelas dilarang kesana, jika kesana, dia akan digebuki sama anak-anak cowok sekelas, termasuk aku. Sebabnya? Ini Indonesia. Murid-murid sekolah akan sangat kegirangan saat, guru tak masuk kelas alias kosong. Dan membiarkan diri kami berleha-leha dan membicarakan omong kosong selama jam kosong.

Tapi si anak baru itu, nampaknya belum mengenal budaya kelas kami. Dia dengan serta merta keluar dari kelas, berniat memanggil guru pengganti. Aku yang tahu dia keluar segera menyusulnya.

“Jangan jadi pengkhianat ya...”

Dia merengut, mukanya ditekuk. Dia hampiri aku dan berkata, “kelas rame Son, aku pikir lebih baik ada guru yang masuk ke kelas. Supaya diisi, nggak rame seperti sekarang.”

“Tidak. Kamu nggak tahu budaya kelas kami,” kataku agak keras, “kita itu udah biasa begini. Kamu harus tahu itu!”

“Oh, jadi begitu?” tanyanya dengan nada merendahkan.

Aku naik pitam karena dia ngeyel. “Ihhh… DASAR PENDEK!”

Matanya memerah menahan amarah. Dia memang tidak jadi ke ruang guru, melainkan berlari ke kelas. Mengambil tas lalu pulang. Beberapa hari kemudian dia tak datang ke sekolah. Aku jadi merasa bersalah dengan tingkahku. Teman-teman lain juga menyalahkanku.

“Seharusnya kamu nggak perlu mengatainya,” kata Darliah.

“Kamu terlalu kejam!” tutur Astika.

“Ahhhh...” Wowor hanya geleng-geleng kepala saja.

Komentar-komentar itu teringang di dalam benakku. Jujur, aku merasa bersalah. Aku pun berniat meminta maaf.

Ditemani oleh Ambon, Darliah, Wowor, Astika dan teman-teman sekelas lainnya. Aku mendatangi rumah Sa. Aku meminta maaf padanya.

“Ok, aku maafin,” katanya, “tapi jangan ulangi ya.”

Aku mengangguk-angguk. Namun, justru karena itu, hari-hari berikutnya aku jadi akrab dengannya. Ada pepatah bilang, jika kau bertengkar dengan temanmu, itu tandanya kau akan semakin akrab dengannya. Entah benar entah tidak pepatah itu, aku tak peduli. Jadi, di antara aku dan sohibku, Ambon, tersembul juga Sa di tengah-tengahnya. Anehnya, hal ini kemudian membuat mukanya jadi terpikirkan dibenakku. Bukan yang buruk-buruk, tapi yang indah-indah. Cinta? Entahlah...

***

Aku sedang bersantai hari ini. Menikmati hari Minggu yang menyenangkan. Aku tak ada kegiatan apa-apa, kecuali mengurusi ikan-ikan cupangku. Mengganti airnya dan memberinya encuk (jentik nyamuk). Tapi sangat membosankan betul sendirian tanpa kawan. Beberapa jenak kemudian, Mami memanggil dari dalam rumah. “Son, ada telepon tuh,” kata mami.

“Dari siapa, mi?” tanyaku.

“Seorang cewek yang ngakunya bernama Sa.”

Hah, Sa? Segera kutinggalkan asal-asalan perlengkapan ikan cupang. Aku segera cabut ke dalam.

“Halo?”

“Son, lagi apa?” tanyanya di seberang gagang telepon. Nadanya terdengar ceria.

“Ah, sedang nggak ngapa-ngapain,” jawabku, padahal aku sedang mengurusi ternak-ternakku.

“Emmm, main yuk,” ajaknya.

Entah kenapa aku bersemangat sekali menerima ajakannya, mungkin karena aku suntuk berada di rumah tanpa kawan bicara, maka dengan cepat kutimpali, “Ayuk.”

“Ke mana?”

“Ke mana aja terserah, asal nggak ngajak ke bulan. Soalnya aku nggak bisa terbang.” Ia pun terbahak mendengar banyolanku. Dan seperti biasanya membuat kepalaku bising dan pusing. Tapi aku senang bisa membuatnya tertawa.

“Bisa, aja kamu. Mmm, ntar kita ke Parangtritis yuk,” katanya.

“Boleh,” jawabku.

“Yah udah, sekitar jam 4-an nanti, sehabis Kick Andi jemput aku ya. Sekarang lagi nanggung nih.”

“Oke.”

Setelah telepon diputus, di pikiranku menyeruak dengan beragam angan-angan. Jangan-jangan Sa menyukaiku, begitu pikirku. Aduh, bagaimana ini. Aku nggak bisa nerima dia, kalau-kalau dia menyatakan cintanya padaku. Tapi, tetap berangkat juga aku ke tempatnya, setelah waktu yang disepakati menunjukkan ketepatannya. Aku menyelah sepeda motorku. Memacu menuju rumahnya.

***

Hari sudah beranjak senja, ketika kami sampai di pelataran parkir pantai Parangtritis. Usai memarkirkan motor, kami berjalan mendekati garis tepi pantai, di mana banyak orang-orang di sana. Akhirnya kami duduk berdua-duaan juga. Agak jauh dari kerumunan orang. Kami duduk menghadap laut selatan. Aku di sebelah kiri, dia di sebelah kananku. Menatap ombak laut yang sedang bergulung-gulung tak beraturan.

Dalam keremangan hari, kuperhatikan Sa dalam siluet senja. Ia berubah, pandangan mataku melihatnya lebih menawan dan cantik. Hidungnya yang tidak mancung, kelihatan mungil sekarang. Bibirnya pun lucu. Pipinya lebih gembil daripada yang biasa kuperhatikan pada hari-hari sebelumnya. Aku coba menepis bayangan Sa dalam pikiranku yang sedang menari-nari menguakkan keindahan tentangnya.

“Kamu sedang lihat apa, Son?” Tanya Tisa, yang sungguh membuatku terkejut bukan alang-kepalang. Apalagi, ia memalingkan mukanya ke arahku, seolah sadar sedang kuperhatikan.

“Ah, nggak,” jawabku tergagap, “ehh... sen... senjanya bagus ya?” Kualihkan pertanyaannya yang membuat jantungku hampir copot. Bagaimana seandainya dia tahu apa yang sedang kuperhatikan darinya. Ia pun kemudian mengalihkan pandangnya ke sunset yang segera tenggelam itu. Meskipun Pantai Parangtritis merupakan bagian dari pantai selatan, sedikitnya keindahan sunset bisa dilihat dari sini. Karena di sini luas jangkau pandangan mata tidak tertutup oleh apapun, kecuali tanah-tanah yang sedikit lebih menjulang di sebelah barat.

Beberapa menit kemudian gulita pun memakan cahaya mentari. Belum pernah kulihat keadaan Parangtritis di malam hari. Baru kali ini. Beberapa pedagang penjual jagung bakar mulai membuka gerai-gerai mereka. Menyajikan makanan peneman anak-anak muda yang sedang digandrung cinta. Mereka berjejer sepanjang pantai, menerangi pantai yang sangat gulita. Mulai saat itulah seluruh perasaan menjalari hatiku.

***

Aku memandang langit-langit kamarku. Lagi-lagi membayangkan muka itu. Apa coba sebab, muka itu masuk di dalam pikiranku. Aku menghitung-hitung. Memang ada beberapa bagian yang tak kusukai dari Sa. Pun sebaliknya, juga ada bagian-bagian yang menarik darinya, yang tak kutemukan dari cewek-cewek lain yang pernah kukenal. Apa adanya, simpel, enerjik dan... nilai-nilai itulah yang membuatku tertarik.

Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengakui bahwa aku jatuh cinta sama Sa. Walaupun ada perasaan ragu-ragu di dalam hatiku. Aku meyakinkan diriku sendiri. Ah, aku merasa bahagia sudah jujur pada diriku sendiri. Aku pun ingin membagi kebahagiaan ini pada Ambon. Tak berapa lama kemudian kumenghubungi sahabat baikku itu. Kupijit-pijit nomor teleponnya.

“Halo?” Ambon bertanya dari seberang sana.

“Mbon, sekarang aku udah yakin sama perasaanku,” aku kegirangan betul berkata kepada Ambon soal ini.

“Perasaan apa?”

“Yah, soal sesuatu yang pernah kau katakan padaku beberapa tempo hari yang lalu. Soal, Sa.”

“Oh.”

“Lho kok oh doang. Kesannya nggak antusias nih,” aku memrotes reaksi Ambon yang terkesan tidak antusias.

“Emangnya aku harus gimana? Jejingkrakan nggak jelas, gitu? Toh semisal pun begitu kamu nggak bakal ngelihat aku kan?”

“Oiya ding...hehehe...”

“So, apa yang mau kamu lakukan?”

“Besok aku akan menyatakan cinta padanya,” kataku bersemangat.

“Aduh...” jawab Ambon.

“Kenapa?” tanyaku bingung.

“Barusan Sa bilang sama aku. Katanya, dia udah jadian sama mas Pur, temen bapaknya. Lho, Son? Son? Kamu masih di sana...”

Bagai tersengat listrik tubuhku bergetar. Aku lemes, jantungku berdetak lebih kencang. Picu aliran darah mengalir lebih deras dalam tubuhku. Hpku terlepaskan dari genggaman. Masih terdengar jelas suara Ambon berteriak-teriak mencariku. Aku lemes. Menyesal kenapa aku tidak meyakini perasaanku lebih cepat kemudian mengutarakan perasaanku padanya. Tapi seperti pepatah bilang, penyesalan selalu hadir belakangan.

Aku berjalan keluar dari kamarku. Ingin mencuci muka dan tidur lebih cepat. Biar bisa segera melupakan perasaanku sama Sa. Sesampainya di tempat tidur, kutarik selimutku, sambil berdoa, “Tuhan semoga aku bermimpi indah tentang Sa malam ini. Karena hanya dalam mimpi saja aku bisa merasakan dirinya menjadi milikku seorang.”

Posted by
Unknown

More

My Prince in Dreamland


SUMBER


Cerpen Cinta Remaja
karya Firdausi F.L

“Uuh…!” keluh Karin seraya membanting tasnya yang lengket karena ditempeli permen karet tadi pagi.
“Gara – gara Kak Radith lagi, Kak?” Tanya Nayla, adik Karin, yang juga masih mengenakan seragam putih birunya. “Sabar ajah, deh, Kak! Satu setengah tahun lagi lulus…”
“Satu setengah tahun itu masih lama, tau!” seru Karin yang masih cemberut, seraya meraih laptopnya.
“Pasti mau chatting sama ‘Sang Pangeran’ itu lagi!” tebak Nayla. Karin hanya tersenyum. “Siapa, sih, Kak, Prince Eric itu sebenarnya? Kakak masih belum ketemu sama orangnya?” Tanya Nayla lagi.
Karin tersenyum melirik Nayla. “Iya, sampe sekarang kakak emang belum ketemu orangnya. Tapi yang jelas, dia asyik!”
               Sekarang ia memang punya agenda baru setiap pulang sekolah. Yaitu chatting dengan teman barunya, Prince Eric. Menurut Karin, orang yang menamai akun Facebooknya dengan nama Prince Eric itu memang orang yang asyik diajak mengobrol. Tak jarang Karin juga curhat kepadanya. Sejak mengenal Prince Eric, bebannya sepulang sekolah serasa berkurang. Ia jadi lumayan bisa melupakan kekesalannya kepada Radith, teman sekolahnya yang super jahil itu.
               Karin mengenal Prince Eric dari sebuah grup di Facebook yang bernama It’s Dreamland. Grup orang – orang yang menyukai cerita fiksi. Di sana hampir semua member menamai akun Facebooknya dengan nama tokoh favoritnya. Termasuk ia yang menamai akunnya Princess Sugarplum, putri di cerita Nutcracker. Tanpa disangka, ia juga berkenalan dengan seseorang yang menamai akunnya Prince Eric, pangeran di cerita Nutcracker.
“Yippie!” seru Karin tiba – tiba, yang membuat Nayla menjatuhkan novel yang dibacanya.
“Ada apa, sih, Kak?! Bikin orang jantungan ajah!” sungut Nayla.
“Ada kabar bagus, Nay! Dia ngajakin ketemuan!”
“Siapa? Oh… ‘Sang Pangeran’, ya?”
Karin hanya tersenyum. “Katanya, dia ngajakin ketemuan di taman kota, besok jam 5 sore. Dia akan bawa kado special…”
“Ciie…jangan – jangan dia bakal langsung nembak kakak besok! Di taman, waktu pesta kembang api malam – malam…So Sweet!”
“Iih…apaan, sih?!”
               Sampai malam, Karin terus memikirkan hal itu. ia benar – benar penasaran, siapakah Prince Eric yang selama ini dikenalnya itu? Bahkan, sampai esoknya di sekolah ia masih memikirkan hal tersebut. Karin jadi tak terlalu konsen ke pelajaran. Tapi anehnya, Radith, yang biasanya tak pernah absen untuk mengisenginya, kini sama sekali tak bertingkah.
               Waktu yang dinantikan pun akhirnya tiba. Tepat pukul 04.30 sore, Karin langsung berangkat dari rumahnya.
“Ciie…yang mau ketemu sama si doi!” goda Nayla. Karin hanya melirik adiknya, seraya tersenyum, tanda mengiyakan.
               Dua puluh menit kemudian, Karin telah sampai di taman. Setelah selesai memarkirkan motor, tiba – tiba seseorang menabraknya. Karin terkejut. Ia tambah terkejut lagi ketika tahu siapa orang yang telah menabraknya itu.
“Karin?!”
“Radith?!”
“Ngapain lu ada di sini?”
“Harusnya gue yang nanya! Kenapa, sih, lu harus selalu ada di mana – mana dalam hidup gue?! Nggak puas apa lu, tiap hari ngerjain gua di sekolah?!” seru Karin sewot dan langsung berlari meninggalkan Radith. Radith tertegun mendengar bentakan Karin. Tapi, ia tak berkata apa – apa.
               Karin segera menuju sebuah bangku yang berada di dekat air mancur di tengah taman. Tapi, tak ada seorangpun di sana, selain anak – anak yang sedang bermain gelembung sabun.
“Katanya, dia akan datang dengan pakaian serba biru, pukul 5 tepat… Tapi, sekarang, kan, masih jam 5 kurang 5 menit. Aku tunggu saja lagi…” ujar Karin dalam hati. Lima menit kemudian, seseorang dengan pakaian serba biru datang dan menghampirinya. Tapi Karin malah jadi cemberut. Ia yakin betul itu bukan yg ditunggunya. Yups! Sebab orang itu adalah….Radith!
“Ngapain, lu ngikutin gua ke sini, juga?!” seru Karin sewot.
“Siapa yang ngikutin lu, gua janjian sama seseorang di sini! Elu kali, yang mata – matain gua!”
“Diih…gua juga lagi janjian sama seseorang di sini! Gua mau ketemu sama pangeran gua, Prince Eric, namanya!”
“Haa?! Jadi…elu yang pake akun FB Princess Sugarplum itu?”
“Ha?! Lu tau dari mana? Apa jangan – jangan lu…”
“Jadi, selama ini?!” seru keduanya kompak.
“Huh! Jadi Princess gua itu elu?!”
“Idih…siapa juga yg mau jadi Princess lu! Jangan harap!” seru Karin seraya langsung meninggalkan Radith.
               Sejak itu pun Karin tak pernah lagi chatting dengan Radith yang selama ini dikenalnya dengan Prince Eric itu. Radith pun tak pernah mengisenginya lagi di sekolah. Namun lama – kelamaan, ada rasa tidak nyaman juga yang timbul di hati Karin. Ia merasa kehilangan sekaligus dua sosok yang selama ini membuat hidupnya lebih berwarna. Sosok yang selalu menjadi tempat curhatannya, dan penghibur saat dia sedih, serta sosok yang selalu harinya di sekolah menjadi lebih seru, meski sering kali membuatnya jengkel pula.
“Prince Eric hanyalah pangeran dalam dongeng. Kisah bahagia Prince Eric dan Princess Sugarplum hanyalah dalam dongeng pula. Dan dongeng itu tidak nyata! Dongeng hanyalah fiksi!” Itulah yang selalu diucapkan Karin saat ia merindukan keadaan yang dulu lagi…
               Sudah lebih dari dua minggu Radith tidak mengisengi Karin lagi di sekolah. Mereka pun tak pernah saling menyapa. Sampai suatu hari, saat jam istirahat, Karin menemukan sebuah kotak hadiah kecil di kolong mejanya.
“Apa ini kado iseng dari Radith lagi?” piker Karin dalam hati. Dengan hati – hati, Karin pun membuka kado tersebut. Dan ternyata……
               Karin terbelalak melihat isinya. Ternyata bukan katak atau mainan ular seperti biasanya. Karin menemukan sebuah kartu bergambar hati yang dihiasi glitter di dalamnya. Indah sekali! Ia juga menemukan selembar kertas bergambar kolam ikan di sebuah taman. Di pojok bawah kertas tersebut, terdapat tanda tangan pengirimnya…Radith!
               Karin langsung mengerti maksud hadiah itu. Ia pun segera menuju halaman belakang sekolah. Di sana ada sebuah kolam ikan yang cantik, dan Karin pun menuju ke sana. Seperti dugaannya, Radith telah menantinya di sana.
“Karin…,” ucap Radith, “Elu suka hadiah dari gua?” Tanya Radith agak gugup.
               Karin hanya tersenyum, dan wajahnya memerah.
“Karin…Sorry kalo selama ini gua sering ngisengin lu. Tapi, sekarang gua baru sadar, kalo ternyata…gua…gua suka sama lu. Lu mau nggak, jadi pacar gua?” Tanya Radith penuh harap.
“Radith, sebenernya…gua juga baru sadar, kalo ternyata…gua …suka sama lu juga…,” ucap Karin malu – malu.
“Jadi, lu mau jadi pacar gua, kan?” kejar Radith, tak sabar.
               Karin mengangguk. Dan entah kapan datangnya, tiba – tiba seluruh teman – teman mereka bertepuk tangan dan bersorak meriah.
               Akhirnya, sang Putri dan Pangeran pun bersatu. Dan terbukti, kisah Pangeran dan Putri yang Happy Ending bukan hanya ada di dongeng!
***

Posted by
Unknown

More

PERSAHABATAN TERLARANG


SUMBER



Cerpen Persahabatan
                                                                Karya Siti Khoiriah

Sejak pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Pesahabatan dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan ini.

Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya. Sesungguhnya hatiku sangat berat untuk ini, tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru, tatapan penuh canda itu mulai sirna dibalut dengan duka mendalam.

“Van maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah ku lakukan, ya.” Kataku saat ia berdiri pas di depanku.

“kamu gak pernah salah Citra, semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari cukup.”

“pleace, tolong jangan lupain aku, Van”

“ok, kamu nggak usah khawatir.” Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan sesosok makhluk manis itu.

Ku lihat dari dalam tempatku duduk terasa pedih sangat kehilangan. Jika nanti kami dipertemukan kembali ingin ku curahkan semua rasa rinduku padanya. Itu janji yang akan selalu ku ingat. Suara manis terakhir yang memberi aku harapan.

Awalnya persahabatan kami berjalan dengan lancar, walau kami telah berjauh tempat tinggal. Pada suatu ketika, ibu bertanya tentang sahabat baruku itu.

“siapa gerangan makhluk yang membuatmu begitu bahagia, Citra?” tanya ibu saat aku sedang asyik chatingan dengan Devan.

“ini, ma. Namanya Devan. Kami berkenalan saat liburan panjang kemarin.”

“seganteng apa sich sampai buat anak mama jadi kayak gini?”

“gak tahu juga sih ma, pastinya keren banget deh, tapi nggak papah kan, Ma aku berteman sama dia.?”

“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”

“kami berbeda agama, Ma”

“hah??,” sesaat mama terkejut mendengar cerita ku. Tapi beliau mencoba menutupi rasa resahnya. Aku tahu betul apa yang ada di fikiran mama, pasti dia sangat tidak menyetujui jalinan ini. Tapi aku mencoba memberi alasan yang jelas terhadapnya.

Sehari setelah percakapan itu, tak ku temui lagi kabar dari Devan, aku sempat berfikir apa dia tahu masalah ini,,? Ku coba awali perbincangan lewat SMS..

“sudah lama ya nggak bertemu? Gimana kabarnya nech,,? “

Pesan itu tertuju kepadanya, aku masih ingat banget saat laporan penerimaan itu. Berjam-jam ku tunggu balasan darinya. Tapi tak ku lihat Hp ku berdering hingga aku tertidur di buatnya. Tak kusangka dia tak membalas SMS ku lagi.

Tak kusangka ternyata mama selalu melihat penampilan ku yang semakin hari semakin layu.

“citra, maafkan mama ya, tapi ini perlu kamu ketahui. Jauhi anak itu, tak usah kamu ladeni lagi.” Suara mama sungguh mengagetkan ku saat itu. Ku coba tangkap maknanya. Tapi sungguh pahit ku rasa.

“apa maksud mama?”

“kamu boleh kok berteman dengan dia, tapi kamu harus ingat pesan mama. Jaga jarak ya, jangan terlalu dekat. Mama takut kamu akan kecewa.”

“mama ngomong paan sih,? Aku semakin gak mengerti.”

“suatu saat kamu pasti bisa mengerti ucapan mama” mamapun pergi meninggalkan ku sendiri.. Aku coba berfikir tenteng ucapan itu. Saat ku tahu jiwa ini langsung kaget di buatnya.. tak terasa tangispun semakin menjadi-jadi dan mengalir deras di kedua pipiku. Mama benar kami berbeda agama dan nggak selayaknya bersatu kayak gini. tapi aku semakin ingat kenangan saat kita masih bersama.

Satu tahun telaj berlalu, bayangan tentangnya masih teikat jelas di haitku. Aku belum bisa melupakannya. Mungkin suatu saat nanti dia kan sadar betapa berharganya aku nutuknya.

Satu harapan dari hatiku yang paling dalam adalah bertemu dengannya dan memohon alasannya mengapa ia pergi dari hidupku secepat itu tanpa memberi tahu kesalahanku hingga membuat aku terluka.

Pernah aku menyesali pertemuan itu. Tapi aku menyadari betapa berartinya ia di hidupku. Canda tawa yang tinggal sejarah itu masih terlihat jelas di benakku dan akan selalu ku kenang menjadi bumbu dalam kisah hidupku.

Devan, kau adalah sahabat yang paling ku banggakan. Aku menunggu cerita-ceritamu lagi. Sampai kapanpun aku akan setia menunggu. Hingga kau kembali lagi menjalani kisah-kisah kita berdua.

TAMAT

Posted by
Unknown

More

PERGILAH KAU


SUMBER


Oleh: dellia riestavaldi
 

               Hallo namaku Evelyn Pahlevi, aku baru duduk di bangku kelas 11 SMA. Aku ingin bertanya sama kalian, cinta itu apa? sayang itu apa? Apakah cuek sama cinta itu sama? Setahuku tidak. Kalau kalian lihat orang kalian cintai atau sayangi itu down, apa yang kalian lakukan, ga musti diem aja kan Cuma ngliat doang,, kalau aku, aku bakal samperin dia, nghibur dia, nemenin dia. 

               jam menunjukan angka 7.15, udah seharusnya aku berangkat sekolah. Dan sesampainya di sekolah aku langsung duduk ditempat dudukku, dan menoleh ke belakang kearah meja brian. Brian Syahreza adalah sahabatku, tapi itu dulu. Semenjak ulang tahunku yang ke 16, dia berubah padaku, perhatiannya melebihi seorang sahabat. Kita udah deket semenjak kenaikan kelas XI, itu juga karna dia nyambung sama aku enak di ajak bercanda. Akhir-akhir ini kita deket kesana kesini bareng.
Awal bulan mei aku di beri cobaan oleh tuhan, seorang cewe yang gasuka terhadap kedekatan ku dan brian, dia Fera. Fera dulu juga dekat dengan Brian, tapi mereka ga sampe jadian. Teman-teman Fera melabrakku, dengan tuduhan aku merebut Brian dari Fera, entah apa yang harus ku lakukan, toh faktanya emang Brian kan gapernah jadian sama Fera. DEKET? Ya tapi itu dulu pada saat mereka kelas 10. Disini aku di aku belajar menjadi sosok pribadi yang kuat, sabar dan tidak menghiraukan mereka yang iri padaku. aku tak memikirkan masalah itu, karna hati aku yang terpenting bukan mereka.

               Aku cape harus bolak-balik wc untuk membuang air mata kepedihan ini, aku ga kuat nahan air mata di depan Brian. Setiap kali aku menatap matanya aku bertanya dalam hati “apakah kamu benar mencintaiku, taukah aku hanya bonekamu?”, sikap cueknya itu membuatku perih dan sesak di dada. Aku harus bertahan, mungkin aku belum terbiasa dengan sikapnya, harus selalu optimis berfikir tentang dia. Prinsipku “jika kita ingin di mengerti oleh mereka, kita juga harus mengerti mereka” yup aku harus ngertiin dia. Berminggu-minggu aku dekat padanya, tapi dia sama sekali belum menyatakan perasaannya, aku rasa aku harus menunggu dan dia juga butuh waktu, dan aku yakin dia punya cara tersendiri buat ngungkapinnya 

               hari ini upacara bendera libur dulu soalnya ujan nih pagi-pagi, aku dari dulu gasuka HUJAN ya H-U-J-A-N, aku gasuka petir. Aku duduk diam di bangkuku dan lalu aku menoleh ke arah Brian yang sedang menikmati music yang ada di speaker porttablenya, aku terus menatapnya dan bicara padanya.

               “Yan, ganti dong lagunya, aku gasuka lagunya.”

               dia melihat ke arahku, dan dia malah buang muka padaku. Aku langsung terdiam dan membalikkan badanku ke arah papan tulis. Dia gasuka ya sama aku, sampe dia gtuin aku? Hmm.
aku masih sabar soal itu, aku menoleh teman sebangku ku, aku meminjam LKS nya, tapi terdengar dari suara di belakangku “aku dulu lyn yang minjem” aku langsung melempar LKS itu kearah mukanya. Dan aku langsung lari ke WC, aku langsung kunci pintu dan menyalakan air keran, supaya ga ada yang tau kalau aku nangis. Aku baru sadar sahabatku Nessa dan Dicky tau kalau aku pergi sendirian pasti ada sesuatu hal yang terjadi kepadaku, aku langsung mengusap air mataku, dan mencuci muka ku, aku keluar dari WC itu, lalu aku berjalan menuju kantin. Aku ga peduli aku harus kehujanan, walaupun hujannya ga terlalu lebat. Aku memesan teh hangat, dan langsung duduk di meja kantin, ku pandangi Blackberryku. tapi, ga ada satupun pesan atau bbm dari Brian. Brian tidak mengkhawatirkanku, dia tak mencariku, tiba-tiba hujan sangat lebat datang menghampiri, aku sudah tak kuat menahan rasa sakit dan air mata ini. Aku langsung berjalan menuju kelasku dengan airmata ini, se engganya kali ini hujan telah membantu ku untuk menghapus air mata ini.

               Sudah 1jam aku berada di luar kelas, sebentar lagi bel pulang, aku langsung segera ke kelas dengan basah kuyup. Pas aku baru masuk kelas, mataku langsung tertuju pada Brian, ternyata dia asik-asik aja bercanda sama yang lainya, YA dia sama sekali tidak mencariku dan mengkhawatirkanku. Aku langsung mengambil tasku dan pulang ke rumah dengan motor kesayanganku, tak pandang seberapa deras hujan saat itu.

               sesampainya di rumah aku langsung lari ke kamar mandi, seperti biasa aku langsung menyalakan air keran di bak mandi. Aku berdiri di depan cermin, mataku, hidungku, bibirku merah karena hujan di mataku ini, teringat Brian aku langsung menahan sesak di dada dan airmata ini. Aku menghempaskan tubuhku di lantai kamar mandiku, aku meluapkan rasa sakit itu dengan air mata. Brian gasuka sama aku, Brian ga peduli sama aku. Dari hal terkecil tadi aja dia tidak menghawatirkan aku. Sampai sekarang aku ga pernah tau perasaan Brian gimana sama aku, aku ga boleh terlalu berharap. Kalau dia ada rasa sama aku pasti dia nyari aku, tapi nyatanya engga. Aku ga boleh nangis lagi aku harus bangun dari ketepurukanku, dia ga bakal tau aku sesakit ini dan menurutku kalau cinta itu seneng susah bareng, tapi malah senengnya aja yang bareng  ya aku tau dia ga ada rasa sama aku, wake up lyn masih banyak yang lain 

               besoknya disekolah, aku masuk kekelasku dan pagi itu aku bertemu sesosok Brian, aku langsung berhenti di tempat sejenak, ku tarik nafasku ku dalam-dalam dan ku hembuskan perlahan dan aku langsung melanjutkan jalan ku kea rah tempat duduk. Brian menghampiriku, dia berbicara panjang lebar tapi sayangnya aku udah ga peduli, aku abaikan saja dia. Bel istirahat sudah berbunyi aku segera membereskan buku-bukuku di atas meja, aku berdiri dari tempat duduk ku, Brian menarik tanganku, dia berbicara dengan nada pelan kepadaku.

          “lyn, kamu kenapa?” Tanya Brian.

          “menurutmu aku kenapa? Jawabku.

          “kamu beda lyn, aku salah apa sama kamu?” nada yang semakin pelan.

          “kamu bilang aku beda? Aku kaya gini karna karna kamu? Sudahlah kamu itu engga pernah peduli sama aku Yan, dan sekarang kamu gausah sok sokan peduli gitu sama aku huh.” Nadaku agak tinggi.

          aku perlahan pergi meninggalkan Brian, tapi Brian menarik tanganku.

          “tapi tunggu lyn, aku sayang kamu.”

          “oh gitu ya, kemarin-kemarin kamu kemana, saat aku butuhin yang ada malahan kamu asik-asik sendiri kan sama temen-temen kamu, aku pergi dan kehujanan kemarin, apa kamu khawatirin aku? Engga Yan kamu engga peduli sama aku, sekarang kamu se enaknya bilang sayang, emang aku apaan Yan ?” kesalku

          “Lyn dengerin penjelasan aku dulu.” Rintihnya.

          “aku ga butuh penjelasan apapun dari kamu yan, semuanya udah jelas kok!” suara lantang keluar dari mulutku, lalu aku langsung melepaskan genggamannya dan kemudian aku pergi meninggalkannya.

          aku berjalan entah kemana, aku gapunya tujuan, yang tadinya mau ke kantin, Nessa dan Dicky ninggalin aku. Tetes demi tetes air mata ini mulai berjatuhan, kenapa harus kaya gini sih. Aku terus berjalan sambil mengusap airmataku. Karna ini semua bukan akhir  karna sudah lama aku lelah menunggunya, menunggu kepastian hubungan diantara kita itu apa. Ternyata aku baru sadar orang yang mencintai kita adalah orang yang memperdulikan kita  seperti sahabat-sahabatku Nessa dan Dicky.
*****

Posted by
Unknown

More
Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / Blog of Serdadu

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger