SUMBER
Aku masih tidak mengerti apa sebab mukanya itu selalu muncul dalam
pikiranku. Menyusup perlahan-lahan memenuhi ruang di batinku. Setiap
hari. Terbayang yang indah-indah. Setengah mati aku coba buang, tapi
herannya muka itu selalu datang lagi datang lagi setelah sekian banyak
diusir. Padahal muka itu tidak cantik, tidak indah, mukanya biasa.
Hidungnya tidak mancung. Bibirnya tidak sensual. Pipinya tembem. Mukanya
bulat. Pokoknya sangat biasalah. Semisal diukur dalam kategori cantik,
jelas muka itu tidak termasuk.
Lagipula orangnya pendek, tidak tinggi seperti aku. Suka bicara kasar
dan kalau tertawa suka terbahak-bahak, memenuhi ruang kepala dari
ubun-ubun. Membuat bising hingga pusing. Tapi kenapa mukanya selalu
muncul? Itu yang kupertanyakan. Apa aku tertarik padanya? Jika iya,
kenapa aku bisa tertarik? Semisal tidak, kenapa mukanya selalu ada di
dalam kepalaku? Kenapa hayo?
Aku menjambak-jambak rambut di kepalaku. Bingung. Selain juga berupaya
menyingkirkan mukanya itu dari benakku. Siapa tahu dengan begitu mukanya
itu bisa keluar dari dalam kepalaku dan tergantikan dengan mukanya
Jessica Simpson yang aduhai. Namun tetap saja tak bisa, semakin berusaha
kubuang muka orang itu semakin teringang selalu. Tidak sewaktu diam.
Tidak sewaktu bergerak. Tidak sewaktu tidur. Makan, minum, bernafas, ke
sekolah. Mukanya selalu hadir dengan sosoknya, bermain-main di pikiran.
Seolah dia hantu yang diutus iblis untuk mengganggu hidupku. Ah, apa
coba sebabnya?
***
“Itu tanda-tanda orang jatuh cinta,” Ambon, teman sekelasku, bilang
begitu. Kala bel sekolah belum berdentang kencang-kencang menyuruh para
siswa masuk ke ruang pengajaran. Saat itu aku bercerita kepadanya
perihal bayang-bayang muka yang selalu memenuhi ruang kepalaku setiap
hari itu.
“Kok bisa?” Tanyaku.
“Itu jelas,” tambah Ambon lagi, “kelihatan banget tuh. Kamu
memikirkannya setiap hari. Terbayang-bayang mukanya di mana pun.
Kapanpun. Walau kamu sudah menepisnya berulang kali.”
“Aku pikir itu nggak mungkin,” kilahku, “hatiku nggak bilang begitu kok. Tahulah diriku, apabila jatuh cinta pada seseorang.”
Tapi Ambon mengacuhkan jawabanku dan malah menambahi pertanyaannya,
“memangnya sudah berapa lama mukanya membayang-bayangi pikiranmu?”
Aku mencoba mengingat-ingat. Menerawangkan mataku ke atas langit-langit.
“Kupikir... semenjak aku mengenalnya. Tapi sumpah, mukanya baru masuk
dalam pikiranku sekitar seminggu yang lalu.”
Ambon lalu mendekati wajahku dan mengerlingkan matanya dengan nakal. “Aha, that it’s! Your’s falling in love,” ungkapnya yakin.
“Hah?” Mataku melongo mendengar vonis Ambon itu, “nggak mungkin!!”
Tepat pada saat itu, bel masuk berbunyi bertalu-talu. Ibu Ima, si guru
bahasa Inggris yang galak masuk, mengajar. Aku nggak bisa konsentrasi
lantaran kata-katanya Ambon.
***
Beberapa hari sebelumnya, kata-kata Ambon memang terdengar sangat
dashyat. Aku sempat shock lantaran kata-kata itu. Tapi, sejak saat itu
aku tak lagi memikirkan kata-katanya. Toh, itu hanyalah pendapatnya
saja. Bukan kenyataan rasa yang terjadi pada diriku. Lagipula aku sudah
berhasil menyingkirkan muka itu. Muka milik seorang gadis bernama Sa.
Lengkapnya Mahtisa Iswari.
Dia gadis kecil, pindahan dari salah satu kota di bagian barat Pulau
Jawa, Bandung. Anaknya ramah, rame, gaul, funky dan menyenangkan—bisa
membuat suasana menjadi lebih segar, begitu penilaian teman-teman. Tapi
bagiku, tidak. Justru sebaliknya. Suaranya yang keras membuat kepalaku
pusing. Cara tertawanya itu lho. Sejak awal dia pindah ke kelas ini tiga
bulan lalu, aku tak menyukainya. Tapi sebagai seorang cowok yang baik
dan budiman, aku tak menjudesinya. Biasa saja, selaiknya orang-orang
lain. Hanya saja, aku tak ingin berakrab-akrab ria sama dia. Aku jaga
jarak saja.
Tapi semua itu, berbalik 180 derajat. Ada kejadian yang membuat
pembalikan itu. Kejadiannya terjadi seminggu yang lalu. Waktu itu, kelas
sedang ramai. Guru pengampu mata pelajaran Biologi, sedang sakit hari
ini, jadi tidak masuk. Dan seperti kebiasaan kelas, kami membiarkan saja
kelas tetap kosong. Kami tak ingin pergi ke guru piket untuk mengganti
guru yang lain. Ketua kelas dilarang kesana, jika kesana, dia akan
digebuki sama anak-anak cowok sekelas, termasuk aku. Sebabnya? Ini
Indonesia. Murid-murid sekolah akan sangat kegirangan saat, guru tak
masuk kelas alias kosong. Dan membiarkan diri kami berleha-leha dan
membicarakan omong kosong selama jam kosong.
Tapi si anak baru itu, nampaknya belum mengenal budaya kelas kami. Dia
dengan serta merta keluar dari kelas, berniat memanggil guru pengganti.
Aku yang tahu dia keluar segera menyusulnya.
“Jangan jadi pengkhianat ya...”
Dia merengut, mukanya ditekuk. Dia hampiri aku dan berkata, “kelas rame
Son, aku pikir lebih baik ada guru yang masuk ke kelas. Supaya diisi,
nggak rame seperti sekarang.”
“Tidak. Kamu nggak tahu budaya kelas kami,” kataku agak keras, “kita itu udah biasa begini. Kamu harus tahu itu!”
“Oh, jadi begitu?” tanyanya dengan nada merendahkan.
Aku naik pitam karena dia ngeyel. “Ihhh… DASAR PENDEK!”
Matanya memerah menahan amarah. Dia memang tidak jadi ke ruang guru,
melainkan berlari ke kelas. Mengambil tas lalu pulang. Beberapa hari
kemudian dia tak datang ke sekolah. Aku jadi merasa bersalah dengan
tingkahku. Teman-teman lain juga menyalahkanku.
“Seharusnya kamu nggak perlu mengatainya,” kata Darliah.
“Kamu terlalu kejam!” tutur Astika.
“Ahhhh...” Wowor hanya geleng-geleng kepala saja.
Komentar-komentar itu teringang di dalam benakku. Jujur, aku merasa bersalah. Aku pun berniat meminta maaf.
Ditemani oleh Ambon, Darliah, Wowor, Astika dan teman-teman sekelas lainnya. Aku mendatangi rumah Sa. Aku meminta maaf padanya.
“Ok, aku maafin,” katanya, “tapi jangan ulangi ya.”
Aku mengangguk-angguk. Namun, justru karena itu, hari-hari berikutnya
aku jadi akrab dengannya. Ada pepatah bilang, jika kau bertengkar dengan
temanmu, itu tandanya kau akan semakin akrab dengannya. Entah benar
entah tidak pepatah itu, aku tak peduli. Jadi, di antara aku dan
sohibku, Ambon, tersembul juga Sa di tengah-tengahnya. Anehnya, hal ini
kemudian membuat mukanya jadi terpikirkan dibenakku. Bukan yang
buruk-buruk, tapi yang indah-indah. Cinta? Entahlah...
***
Aku sedang bersantai hari ini. Menikmati hari Minggu yang menyenangkan.
Aku tak ada kegiatan apa-apa, kecuali mengurusi ikan-ikan cupangku.
Mengganti airnya dan memberinya encuk (jentik nyamuk). Tapi sangat
membosankan betul sendirian tanpa kawan. Beberapa jenak kemudian, Mami
memanggil dari dalam rumah. “Son, ada telepon tuh,” kata mami.
“Dari siapa, mi?” tanyaku.
“Seorang cewek yang ngakunya bernama Sa.”
Hah, Sa? Segera kutinggalkan asal-asalan perlengkapan ikan cupang. Aku segera cabut ke dalam.
“Halo?”
“Son, lagi apa?” tanyanya di seberang gagang telepon. Nadanya terdengar ceria.
“Ah, sedang nggak ngapa-ngapain,” jawabku, padahal aku sedang mengurusi ternak-ternakku.
“Emmm, main yuk,” ajaknya.
Entah kenapa aku bersemangat sekali menerima ajakannya, mungkin karena
aku suntuk berada di rumah tanpa kawan bicara, maka dengan cepat
kutimpali, “Ayuk.”
“Ke mana?”
“Ke mana aja terserah, asal nggak ngajak ke bulan. Soalnya aku nggak
bisa terbang.” Ia pun terbahak mendengar banyolanku. Dan seperti
biasanya membuat kepalaku bising dan pusing. Tapi aku senang bisa
membuatnya tertawa.
“Bisa, aja kamu. Mmm, ntar kita ke Parangtritis yuk,” katanya.
“Boleh,” jawabku.
“Yah udah, sekitar jam 4-an nanti, sehabis Kick Andi jemput aku ya. Sekarang lagi nanggung nih.”
“Oke.”
Setelah telepon diputus, di pikiranku menyeruak dengan beragam
angan-angan. Jangan-jangan Sa menyukaiku, begitu pikirku. Aduh,
bagaimana ini. Aku nggak bisa nerima dia, kalau-kalau dia menyatakan
cintanya padaku. Tapi, tetap berangkat juga aku ke tempatnya, setelah
waktu yang disepakati menunjukkan ketepatannya. Aku menyelah sepeda
motorku. Memacu menuju rumahnya.
***
Hari sudah beranjak senja, ketika kami sampai di pelataran parkir pantai
Parangtritis. Usai memarkirkan motor, kami berjalan mendekati garis
tepi pantai, di mana banyak orang-orang di sana. Akhirnya kami duduk
berdua-duaan juga. Agak jauh dari kerumunan orang. Kami duduk menghadap
laut selatan. Aku di sebelah kiri, dia di sebelah kananku. Menatap ombak
laut yang sedang bergulung-gulung tak beraturan.
Dalam keremangan hari, kuperhatikan Sa dalam siluet senja. Ia berubah,
pandangan mataku melihatnya lebih menawan dan cantik. Hidungnya yang
tidak mancung, kelihatan mungil sekarang. Bibirnya pun lucu. Pipinya
lebih gembil daripada yang biasa kuperhatikan pada hari-hari sebelumnya.
Aku coba menepis bayangan Sa dalam pikiranku yang sedang menari-nari
menguakkan keindahan tentangnya.
“Kamu sedang lihat apa, Son?” Tanya Tisa, yang sungguh membuatku
terkejut bukan alang-kepalang. Apalagi, ia memalingkan mukanya ke
arahku, seolah sadar sedang kuperhatikan.
“Ah, nggak,” jawabku tergagap, “ehh... sen... senjanya bagus ya?”
Kualihkan pertanyaannya yang membuat jantungku hampir copot. Bagaimana
seandainya dia tahu apa yang sedang kuperhatikan darinya. Ia pun
kemudian mengalihkan pandangnya ke sunset yang segera tenggelam itu.
Meskipun Pantai Parangtritis merupakan bagian dari pantai selatan,
sedikitnya keindahan sunset bisa dilihat dari sini. Karena di sini luas
jangkau pandangan mata tidak tertutup oleh apapun, kecuali tanah-tanah
yang sedikit lebih menjulang di sebelah barat.
Beberapa menit kemudian gulita pun memakan cahaya mentari. Belum pernah
kulihat keadaan Parangtritis di malam hari. Baru kali ini. Beberapa
pedagang penjual jagung bakar mulai membuka gerai-gerai mereka.
Menyajikan makanan peneman anak-anak muda yang sedang digandrung cinta.
Mereka berjejer sepanjang pantai, menerangi pantai yang sangat gulita.
Mulai saat itulah seluruh perasaan menjalari hatiku.
***
Aku memandang langit-langit kamarku. Lagi-lagi membayangkan muka itu.
Apa coba sebab, muka itu masuk di dalam pikiranku. Aku
menghitung-hitung. Memang ada beberapa bagian yang tak kusukai dari Sa.
Pun sebaliknya, juga ada bagian-bagian yang menarik darinya, yang tak
kutemukan dari cewek-cewek lain yang pernah kukenal. Apa adanya, simpel,
enerjik dan... nilai-nilai itulah yang membuatku tertarik.
Pada akhirnya aku memutuskan untuk mengakui bahwa aku jatuh cinta sama
Sa. Walaupun ada perasaan ragu-ragu di dalam hatiku. Aku meyakinkan
diriku sendiri. Ah, aku merasa bahagia sudah jujur pada diriku sendiri.
Aku pun ingin membagi kebahagiaan ini pada Ambon. Tak berapa lama
kemudian kumenghubungi sahabat baikku itu. Kupijit-pijit nomor
teleponnya.
“Halo?” Ambon bertanya dari seberang sana.
“Mbon, sekarang aku udah yakin sama perasaanku,” aku kegirangan betul berkata kepada Ambon soal ini.
“Perasaan apa?”
“Yah, soal sesuatu yang pernah kau katakan padaku beberapa tempo hari yang lalu. Soal, Sa.”
“Oh.”
“Lho kok oh doang. Kesannya nggak antusias nih,” aku memrotes reaksi Ambon yang terkesan tidak antusias.
“Emangnya aku harus gimana? Jejingkrakan nggak jelas, gitu? Toh semisal pun begitu kamu nggak bakal ngelihat aku kan?”
“Oiya ding...hehehe...”
“So, apa yang mau kamu lakukan?”
“Besok aku akan menyatakan cinta padanya,” kataku bersemangat.
“Aduh...” jawab Ambon.
“Kenapa?” tanyaku bingung.
“Barusan Sa bilang sama aku. Katanya, dia udah jadian sama mas Pur, temen bapaknya. Lho, Son? Son? Kamu masih di sana...”
Bagai tersengat listrik tubuhku bergetar. Aku lemes, jantungku berdetak
lebih kencang. Picu aliran darah mengalir lebih deras dalam tubuhku.
Hpku terlepaskan dari genggaman. Masih terdengar jelas suara Ambon
berteriak-teriak mencariku. Aku lemes. Menyesal kenapa aku tidak
meyakini perasaanku lebih cepat kemudian mengutarakan perasaanku
padanya. Tapi seperti pepatah bilang, penyesalan selalu hadir
belakangan.
Aku berjalan keluar dari kamarku. Ingin mencuci muka dan tidur lebih
cepat. Biar bisa segera melupakan perasaanku sama Sa. Sesampainya di
tempat tidur, kutarik selimutku, sambil berdoa, “Tuhan semoga aku
bermimpi indah tentang Sa malam ini. Karena hanya dalam mimpi saja aku
bisa merasakan dirinya menjadi milikku seorang.”